Subscribe to Wordpress Themes Demo
KOPMA STAIN Watampone

________________________________________
Sejarah Singkat Berdirinya KOPMA
Koperasi Mahasiswa (KOPMA) STAIN Watampone, lahir atas dasar ide dan prakarsa beberapa aktivis mahasiswa dan unsur dosen yang memandang perlu adanya satu wadah peningkatan kesejahteraan mahasiswa. Oleh karena itu, kehadiran sebuah Koperasi Mahasiswa merupakan hal yang sangat penting untuk direalisasikan. Pemikiran tersebut merupakan latar belakang berdirinya Koperasi Mahasiswa (KOPMA) di STAIN Watampone. Tepat pada tanggal 21 mei 1996 Koperasi Mahasiswa Syari’ah IAIN Alauddin resmi didirikan. Dengan dihadiri oleh 44 mahasiswa(i) yang kemudian menjadi anggota pertama dan diprakarsai beberapa orang pendiri yaitu Drs. Syarifuddin Latif, Mariana, Abdurrahim, dan Muh. Fauzan.
Dengan berbekal semangat dan keuletan, halangan dan rintangan tidak mereka rasakan untuk mengembangkan KOPMA kedepan. Hingga pada akhirnya pengurus pada periode pertama dibentuk dan diketuai oleh saudara Kamaluddin. Setelah satu tahun kepengurusan berjalan terjadi perubahan status di kalangan Kampus. Dari IAIN Alauddin Makassar menjadi STAIN Watampone. Maka KOPMA berganti nama dari KOPMA Syari’ah IAIN Alauddin menjadi KOPMA STAIN Watampone yang kemudian eksis hingga sekarang.
Landasan, Asas dan Tujuan
1. KOPMA STAIN Watampone berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
2. KOPMA STAIN Watampone berdasarkan asas kekeluargaan dan Gotong royong
3. Tujuan KOPMA STAIN Watampone:
• Membangun dan mengembangkan potensi ekonomi anggota dan memajukan kesejahteraan anggota
• membangun tatanan perekonomian nasional
• Membangun/menciptakan kader yang mampu berwira usaha
Visi KOPMA STAIN Watampone
Menjadi Koperasi yang berorientasi pada anggota sebagai badan usaha yang mandiri dan tangguh sekaligus sebagai wahana pembangun usaha dan pengkaderan kewira koperasian
Misi KOPMA STAIN Watampone
Menjadi badan usaha yang berbasis pada partisipasi anggota sebagai strategi pengembangan KOPMA yang dinamis, kompetitip, dan mensejahterkan anggota guna mewujudkan kader yang handal baik segi wira koperasi maupun wira usaha, sehingga dapat membangun kehidupan masyarakat pada umumnya dan anggota pada khususnya.

Manusia dalam Pandangan Islam

A. Defenisi Manusia
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujzak. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti
1. Dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28)

Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
2. Jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72)

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”

3. Faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15)
4. Kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67)
5. Syukur (al-Insaan:3)
6. Serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).

Artinya: “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.

Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya, seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah para rasul.




B. Manusia Sebagai Makhluk Sempurna
Menurut Islam manusia itu terdiri dari dua bagian yang membuatnya menjadi manusia sempurna, yaitu terdiri dari Jasmani dan rohani, disamping itu manusia juga telah dikaruniai fitrah. Kita hidup di dunia ini bisa menyaksikan sendiri ada persamaan-persamaan yang dimiliki manusia. Seperti Cinta keadilan, kasih sayang, dan lainnya, itulah menurut kami yang disebut fitrah.
1. Jasmani, Sungguh beruntunglah kita yang dikaruniai jasmani yang sempurna. kaki, tangan, lidah, mata, hidung, telinga, perut dan faraj adalah pemberian Allah yang harus kita syukuri dengan mempergunakannya untuk melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dengan jasmani kita bisa merasakan kenikmatan hidup di dunia ini
2. Rohani, Yaitu unsur manusia yang tidak kasatmata, yang menjadikan jasmani menjadi manusia yang hidup. Dalam buku yag ditulis Barmawie Umary, rohani terdiri dari:
a. Akal dengannya manusia yang lemah bisa mengendalikan kehidupannya di dunia. Berkat akal pula kehidupan manusia bisa jadi lebih mudah. Apa yang ada dihadapan anda sekarang ini adalah bukti kemampuan yang dikaruniakan Allah hanya kepada manusia, yaitu akal. Dengan Akal pulalah perbedaan antara hewan dan manusia sangat mencolok.
b. Nafsu adalah suatu bagian rohani yang dimiliki manusia untuk berkehendak atau berkeinginan. Tanpa nafsu barangkali takkan ada kemajuan dalam hidup manusia. Akan tetapi seringkali nafsu mengalahkan hati dan akal sehingga yang terjadi adalah kerusakan. Masih dari buku karya Barmawie, tersebut bahwa nafsu dikategorikan menjadi:
1) Nafsul Ammarah : Yaitu jiwa yang belum mampu membedakan yang baik dan buruk, lebih mendorong kepada tindakan yang tidak patut.
2) Nafsul Lawwamah :Yaitu jiwa yang telah memiliki rasa insaf dan menyesal setelah melakukan suatu pelanggaran, malu perbuatan buruknya diketahui orang lain an tetapi belum mampu untuk menghentikan tindakanya
3) Nafsul Musawwalah : Jiwa yang telah bisa membedakan yang baik dan buruk, telah bisa menggunakan akalnya untuk menimbang mana yang baik dan mana yang buruk.
4) Nafsul Muthmainnah : Yaitu jiwa yang telah mendapat tuntunan dan terpelihara sehingga mendatangkan ketenangan jiwa. Dengan jiwa ini akan melahirkan sikap dan perbuatan yang baik dan membentengi kekejian
5) Nafsu Mulhamah : Adalah jiwa yang memperoleh ilham dari Allah SWt dikarunia ilmu dan dihiasi Akhlak Mahmudah.
6) Nafsu Raadliyah : Yaitu jiwa yang ridho kepada Allah, selalu bersyukur mn
7) Nafsu Mardliyah : Yaitu jiwa yang diridhoi Allah
8) Nafsu Kaamilah : Yaitu jiwa yang telah sempurna
c. Qolbu(hati), Dari hatilah segala kepribadian manusia muncul. Apabila hati selalu dibina secara baik sesuai Syari'at maka manusia akan berakhak mulia. Akan tetapi seringkali kekuasaan hati tertutupi oleh kekuasaan nafsu, apalagi dengan ditambah bisikan-bisikan syetan, sehingga yang muncul bukanlah cahaya Ilahi akan tetapi bisikan syetan. Oleh karenanya hati harus selalu disirami tuntunan Islam dengan selalu berzdikir kepada Allah. Dalam menjaga hatinya seorang muslim harus selalu wasapada terhadap terjangkitnya penyakit hati. Penyakit hati sungguh berbahaya bagi kehidupannya
d. Roh, Seorang mukmin percaya bahwa manusia hidup karena roh yang ada dalam jasadnya. Akan tetapi bagaimana bentuk atau wujudnya itu bukanlah urusan manusia, karena Allah telah berfirman : Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh; katakanlah : Roh itu urusan Rabb ku dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit." (Al Isra ;85) ( وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون ) " Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah(Ku). (Adzariyat : 56)






C. Misi Manusia dalam kehidupan ini
Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan misi operasional.
Misi Utama
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan, dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
• Sabiqun bil khairat
Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif. Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan, dan kepasrahan kepada Allah SWT.
• Muqtashidun
Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya, tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang dimakruhkan.


• Dzalimun linafsihi
Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali al-Mawardy)
Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah ‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah ‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’, al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut.
Mereka adalah sebuah komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60, al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkan menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua mengakibatkan lupa akan akhirat.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.” Sebagian ahli hikmah yang lain berkata, “Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)
Misi Fungsional
Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah ‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah) Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah, maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
Misi Operasional
Manusia diciptakan di bumi ini selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi (ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana disebutkan di bawah ini.
1. Syukur (Luqman: 31)
2. Sabar (Ibrahim: 5)
3. Mempunyai belas kasih (at-Taubah: 128)
4. Santun (at-Taubah: 114)
5. Taubat (Huud: 75)
6. Jujur (Maryam: 54)
7. Terpercaya (al-A’raaf: 18)
Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya, diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya. Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini.

Musik dan Nyanyian

Musik dan Nyanyian ???
Oleh: Ibnul Qoyyim Al Jauziah

Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu 'anhuma)
Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.
Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!
Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :
Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.
Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.
Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.
Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.
Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)
Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif
Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”
Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)
Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.
Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.
Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.
Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)
Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’
Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :
Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.
Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)
Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :
Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.
Dan yang lain, misalnya :
Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.
Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)
Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)
Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.
Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)
Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan
Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)
Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.
Dalil-Dalil Dari Al Qur’an
1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.
Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya. Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)
Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).
Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :
“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)
Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”
Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.
Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.
Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)
2. Firman Allah ta’ala :
“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)
Mujahid --dalam kitab yang sama-- menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.
3. Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)
Kata ‘Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”
Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)
Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)
Dalil-Dalil Dari As Sunnah
1. Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)
3. Dari Anas bin Malik berkata :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)
4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)
5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan-- khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)
6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)
7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :
“Kulihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”
Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”
Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.
Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)
Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”
Dalam Kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian.Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.”Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak Saudaraku, jika Allah menunaikan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka dimanakah nyanyian itu berada?”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hati kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.”dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang yang bebas dan bersih dari dari puji-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yangmemabukan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan dan sebagainya. Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat.(Lihat Muntaqa Nafis halaman 305) Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol.Yang melakukan orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan. As Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan mengundang penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat .(Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306) Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318) Dalam kitab yang sama (halaman 318) disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat.Oleh karena itu kalau kamu tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”
Ad Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati danmendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)
Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kaun tanamkan pada pendidikan akhlaknya adalah benci kepada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaithan & kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”
Imam Abu Bakar Ath Thurtusi dalam khitbah (kata pengantar) kitabnya, Tanrimus Sima’, menyebutkan : (…… oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujah dari Al Quran dan As Sunnah.Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarjan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin.Allah ta’alla berfirman :
“Dan siapa yang menentang Rasulullah setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahannam sedangkan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An Nisa’ : 115) Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya.Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah ia dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib.Ketika beliau ditanya mengenai adanya rukhsah (keringanan) yang dilakukan sebagian penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”
Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’I, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal itu tidak diperselisihkan di kalangan mereka.Madzhab Imam Hanafi ini ini termasuk madzhab yang paling keras dan tegas pendapatnya dalam perkara ini.Hal ini ditunjukkan pula oleh sahabat-sahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik walaupun hanya ketukan sepotong ranting.Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan dan ditolak persaksiannya. Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengarkan musik dan nyanyian adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran.Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadist-hadist yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah saw. Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya.Hal itu pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu minta ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib).Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia untuk melakukan kewajiban ini.”
Kemudian Imam Ath Thurtusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’I dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan dan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada.Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya. Para sahabat Imam Syafi’I yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan alat musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’I) mengenai penghalalannya.Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib, Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh.Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah (Mawaridul Amman Muntaqa min Ighatsah Lahfan halaman 301)
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :
“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana) alat musik tiup, dan nyanyi-nyanyian apabila terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzab dan ulama-ulama muslim lainnya.Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia(Imam Syafi’I) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik). Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari sahabat-sahabat beliau adalah dalam permasalahan bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?” Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan para ulama madzab Syafi’I dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini.Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’I dan logis.Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan & bisa jadi pegangan.Maka siapa saja yg meneliti adanya perselisihan di kalangan para ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhsah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus ke dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)
Syaikh Ali Hasan Abdul hamid Al Atsari hafidhadullah mengomentari pernyataan-pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhsah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Amman halaman 303)
Diriwayatkan dari Imam Syafi’I secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya At Taghbir dan menghalangi manusia –dengannya—dari Al Quran.” (Juz ‘uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya ‘Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304) Ditambahkan pula oleh Abu Mansur Al Azhari (seorang Imam ahli lughah dan bermadzab Syafi’I , wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dalam syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan at taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54) Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan illahnya(alasan) karena menghalangi manusia dari Al Quran, padahal syair-syair itu mendorong untuk zuhud (tidak butuh) kepada dunia,para [penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau mendecakkan mulut sesuai dengan irama lagu, maka bagaimana ucapan beliau apabila mendengar nyanyian di jaman ini, at taghbir bagi beliau adalah bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan ?! Adapun madzab Imam ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah , putranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, tidaklah mengherankanku.” (lihat Mawaridul Aman 305) Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya.Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan.Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52) Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya.Maksudnya jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang telah membuktikan jeleknya kesehatan akalnya misalnya, menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah.Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan dengan jelas nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti pemabuk.Oleh sebab itu pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian (Muntaqa Nafis hal.307) Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman hal.320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman sahabat terhadap keadaan hati, amalan-amalanya dan sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya.Dan sungguh mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.” Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan.Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.” Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Quran dalam upaya pemahamannya dan pengamalannya.Karena sesungguhnya Al Quran dan al ghina’ tidak akan bersatudalam sebuah hati selamanya.Ya, karena keduanya memiliki perbedaan yang mencolok dan bertolak belakang.Al Quran mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifahNya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan syahwat dan keinginan hawa nafsu serta sebab-sebab kesesatan lainnya.Al Quran juga melarang kita meniru dan mengikuti langkah-langkah syaithan .Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Quran .Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu , mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang dianggap menyenangkan.
Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan dan kecemerlangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Quran akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecemerlangan akalnya telah pula menjauhinya.Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini.Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Quran menjadi sesuatu yang berat baginya.Lalu ia (iman itu) berdoa kepada RabbNya : “Ya,Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuhMu dalam hati (dada) yang sama.”
Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah ia sembunyikan.Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepalanya, bahu dan menghentak-hentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.
Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran dan kebodohan.” Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila terus berlanjut akan menyebabkan Al Quran menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarkannya secara khusus. Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan dengan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnl Qayyim rahimahullah Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan batin (Mawaridul Aman hal. 322) Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan.Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-teranan sehingga dia jadilah orang yang durhaka.Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, maka jadilah ia orang yang munafik.
Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian.Hatinya pun penuh dengan kejelekan dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai oleh Allah dan RasulNya.Inilah intinya nifak. Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan,perkataan dan perbuatan.Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat).Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Quran, sedangkan nifak adalah sebaliknya.Itu adalah perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’. Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah.Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :
“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit (An Nisa : 142) Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka.Dan, disamping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi.Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menatik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau dan sangat jelek.Inilah hakikat kemunafikan.Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu terasa kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.
Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan dirinya dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamya pengetahuan dan pemahaman para sahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman 322-323) Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah Ta’ala.

pengembangan dan pembiayaan industri kreatif

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Istilah industri kreatif termasuk baru di Indonesia, namun istilah ini pertama kali digunakan oleh partai buruh Australia pada tahun 1997. Sedangkan analisis pertama dari dampak ekonomi yang ditimbulkan 13 sektor dalam industri kreatif oleh pemerintah Inggris melalui Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga yang dilakukan pada tahun 1998. Di Amerika, menurut data Entertainment and Media outlook: Gaining Momentum yang dirilis PriceWaterhouseCoopers, disinyalir pertumbuhan industri kreatif naik setiap tahunnya 5.6%.
Tidak mau ketinggalan, pemerintah Cina membangun 798 space sebagai bagian dari Creative Industri Zone karena ekonomi yang berbasis kreativitas sangat menjanjikan bagi pertumbuhan ekonomi. Kota Hanzhou di China misalnya membangun Hangzhou Hi-Tech Industry Developmen Zone pada tahun 1990 yang sekarang menjadi pusat R&D Microsoft, Intel, Nokia, Siemens Networks dan Samsung. Selain Australia, Inggris, Amerika, dan Cina negara lain yang mengembangkan industri kreatif adalah Malaysia, Hongkong, dan New Zealand.


Pemerintah berniat mengembangan industri kreatif. Departemen Perdagangan dan beberapa pemerintah daerah mulai aktif melakukan pemetaan terhadap industri tersebut guna mengetahui potensinya dan kelak membuat semacam cetak biru bagi kemajuan sektor yang diyakini dapat ikut mendorong ekonomi nasional secara signifikan itu.
Benarkah industri kreatif—yakni kegiatan ekonomi yang modal utamanya adalah pengetahuan, kreativitas, dan keterampilan; bukan uang—merupakan sesuatu yang baru? Benarkah, mengacu pada teori Alvin Toffler, industri tersebut merupakan penopang gelombang keempat perkembangan ekonomi, sebagaimana peran teknologi informasi pada gelombang ketiga? Dan, benarkah industri tersebut kurang berkembang karena pemerintah selama ini belum terlibat ?.

B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat pokok-pokok masalah yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud induatri kreatif ?
2. Bagaimana lingkup industri kreatif
3. Bagaimana pengembangan industri kreatif ?
4. Bagaimana Pembiayaan industri kreatif ?



BAB II
LANDASAN TEORI

A. Teori Ekonomi Kreatif Menurut John Howkins
Istilah Ekonomi Kreatif setahu saya pertama kali didengungkan oleh tokoh bernama John Howkins, penulis buku "Creative Economy, How People Make Money from Ideas". Dia seorang yang multi profesi. Selain sebagai pembuat film dari Inggris ia juga aktif menyuarakan ekonomi kreatif kepada pemerintah Inggris sehingga dia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi pembentukan kebijakan ekonomi kreatif dikalangan pemerintahan negara-negara Eropa. Menurut definisi Howkins, Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana input dan outputnya adalah Gagasan. Benar juga, esensi dari kreatifitas adalah gagasan. Bayangkan hanya dengan modal gagasan, seseorang yang kreatif dapat memperoleh penghasilan yang sangat layak. Gagasan seperti apakah yang dimaksud? Yaitu gagasan yang orisinil dan dapat diproteksi oleh HKI. Contohnya adalah penyanyi, bintang film, pencipta lagu, atau periset mikro biologi yang sedang meneliti farietas unggul padi yang belum pernah diciptakan sebelumnya.

B. Teori Industri Kreatif Menurut Dr. Richard Florida
Adalah seorang Doktor dibidang Ekonomi, Dr. Richard Florida dari Amerika, penulis buku "The Rise of Creative Class" dan "Cities and the Creative Class", dia menyuarakan tentang industri kreatif dan kelas kreatif di masyarakat (Creative Class). Florida sempat mendapat kritik, bila ada kelompok tertentu dilingkungan sosial yang memiliki kelas tersendiri, apakah ini terkesan elit dan eksklusif? Tidak juga. Justru menurut Florida, ia menghidari kesan tersebut karena gejala dari istilah-istilah sebelumnya seperti Knowledge Society yang dinilai elitis. Menurut Florida "Seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja digang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Namun perbedaanya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut dibidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini", begitu tukasnya.

C. Menurut Robert Lucas
Adalah pemenang Nobel dibidang Ekonomi, mengatakan bahwa kekuatan yang menggerakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktifitas klaster orang orang bertalenta dan orang-orang kreatif atau manusia-manusia yang mengandalkan kemampuan ilmu pengetahuan yang ada pada dirinya.


D. Menurut Visi Pemerintah
Ada pula definisi Industri Kreatif dari visi Pemerintah, sebagai berikut: Industri-industri yang mengandalkan kreatifitas individu, keterampilan serta talenta yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf hidup dan penciptaan tenaga kerja melalui penciptaan (gagasan) dan eksploitasi HKI. (Diambil dari definisi UK Department of Culture, Media and Sport, 1999).

E. Menurut Alvin Toffler
Teori/ramalan Alvin Toffler bahwa gelombang peradaban manusia itu dibagi tiga gelombang. Gelombang pertama adalah abad pertanian. Gelombang kedua adalah abad industri dan gelombang ketiga adalah abad informasi. Sementara ini Toffler baru berhenti disini. Namun teori-teori terus berkembang, saat ini peradaban manusia dengan kompetisi yang ganas dan globalisasi, masuklah manusia pada era peradaban baru yaitu Gelombang ke-4. Ada yang menyebutnya sebagai Knowledge-based economy ada pula yang menyebutnya sebagai ekonomi berorientasi pada Kreativitas.






BAB III
PEMBAHASAN

A. Industri Kreatif.
Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif mulai santer dibicarakan di Indonesia kira-kira mulai awal 2006. Binatang apa ini? Dapat dilacak bahwa Menteri Perdagangan RI, Dr Mari Elka Pangestu pada tahun 2006 meluncurkan program Indonesia Design Power di jajaran Departemen Perdagangan RI, suatu program pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia dipasar domestik maupun ekspor. Presiden RI pada pidatonya pada pembukaaan Pameran Pekan Budaya Indonesia baru-baru ini juga tengah bersiap-siap menyambut era Ekonomi Kreatif ini, yang Beliau sebut sebagai ekonomi gelombang ke-4.
Rasanya akan cukup menarik mengulas Ekonomi Kreatif ini, karena ini adalah momentum bagus untuk berkembangnya profesi-profesi kreatif di Indonesia. Saya yang mengecap pendidikan kreatif secara formal akan coba menjabarkan secara pendapat pribadi. Topik ini sangat menarik, namun mulai saat ini kita harus membiasakan diri untuk sering berganti-ganti kacamata sudut pandang, dari kaca mata makro ekonomi ke kacamata sosiologi, etnografi, kreatif & artistik, teknologi ICT, planologi bahkan studi pembangunan. Suatu kawasan multi disipliner, multi dimensi. Merupakan tantangan besar bagi orang yang ingin memahami topik ini. Pendekatan saya adalah studi literatur dan internet research. Pada tahap ini saya bersifat referensial dan textbook oritented sebagai alibi saya dalam menjelaskan hal-hal terkait, namun pada saat yang sama saya berusaha mencari kontekstualisasinya untuk Indonesia. Ibarat mengemudikan mobil sambil sekaligus melihat kebelakang melalui kaca spion.
Ekonomi dan Kreatif, kedua hal ini bukanlah hal yang baru karena sejak dulu kita sudah kenal. Yang baru adalah keterhubungan diantara keduanya yang kemudian menghasilkan penciptaan nilai ekonomi yang dahsyat dan menciptakan lapangan pekerjaan yang baru melalui eksplorasi HKI. Kedahsyatannya dilihat dari sisi ekonomi adalah sumbangan ekonomi kreatif terhadap GDP suatu negara.
Alasannya sungguh jelas, dinegara maju lahan pertanian telah menyusut jauh, standar hidup yang tinggi menyebabkan biaya operasional pabrik besar dinegara-negara maju menjadi semakin mahal sehingga pemanfaatan teknologi informasi, mesin-mesin canggih yang optimal akan sangat membantu mengurangi biaya-biaya manusia. Teknologi informasipun telah mampu meratakan dunia bahkan melipat dunia, melintas batas-batas jarak dan waktu. Negara-negara maju secara gegap gempita mencanangkan lahirnya era Globalisasi. Dengan Globalisasi segala sesuatu dapat dikendalikan ibarat Remote Control. Dengan mengandalkan kekuatan modal besar, negara maju dapat mendirikan pabrik-pabriknya dinegara lain yang tenaga kerjanya lebih murah, dan tentu saja negara maju tidak perlu lagi disesaki dengan asap polusi Industri dan limbah industri. Dari realitas ini dan penelitian-penelitian statistik yang super canggih mereka berhasil mengidentifikasi bahwa konsep-konsep dan gagasan kreatif adalah modal baru bagi perkonomian di negara-negara maju. Setelah diteliti ternyata ekonomi kreatif telah mampu menjadi sumber ekonomi yang tinggi.

B. Lingkup Industri Kreatif
Departemen Kebudayaan, Media dan Olah Raga di UK menurunkan 15 subsektor yang dinilai merupakan bagian dari Industri Kreatif di Negara Barat, yaitu sebagai berikut:

1. Penelitian & Pengembangan
2. Penerbitan
3. Perangkat Lunak
4. TV&Radio
5. Desain
6. Musik
7. Film
8. Permainan & Games
9. Jasa Periklanan
10. Arsitektur
11. Seni Pertunjukan
12. Kerajinan
13. Video Games
14. Fesyen
15. Seni Rupa.


Perlu diketahui, interpretasi negara-negara didunia tidak secara mutlak mengacu ke 15 sektor ini, negara-negara didunia mengkontektualkan lagi sesuai kondisi dan prioritas negaranya masing-masing.

Apakah kita setuju dengan tawaran ini? Bila kita setuju, apa alasannya, dan bila tidak setuju lantas harus bagaimana? Bila kita membuka mata, Indonesia ternyata memiliki keunikan tersendiri. Menurut Menteri Perdagangan RI (disampaikan pada Rakernas Departemen Perdagangan di Jakarta, 19 Juli yang lalu), ke empat gelombang tersebut semua masih berlangsung di Indonesia, membuat Indonesia memiliki karateristik yang spesifik dan perlu perencanaan yang matang agar dapat berperan aktif didalam era ekonomi kreatif, seperti ini:
1. pertanian: Kondisi geografis yang sangat luas dan sumber daya alam yang melimpah tetap merupakan daya tarik dalam berinvestasi dibidang pertanian. Pergeseran orientasi ekonomi didunia barat cenderung mengatakan era geografis telah usai di negara mereka. Itu bagi mereka. Menurut saya, itu belum sepenuhnya benar untuk Indonesia, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa masa kejayaan Indonesia dalam bidang pertanian telah mulai meredup dan tersalip oleh negara ASEAN lain seperti Thailand dan Vietnam. Bila dilihat dalam statistik, luas lahan pertanian juga semakin susut dan arus urbanisasi tenaga kerja produktif pedesaan yang lebih tertarik bekerja di kota terus meningkat
2. Industri: Jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan murah serta ketersediaan kawasan industri yang juga melimpah menjadi daya tarik negara-negara maju untuk merelokasi industrinya ke Indonesia. Indonesia juga belum sampai pada pencapaian efisiensi industri yang menggembirakan dikarenakan permasalahan energi yang belum sepenuhnya tertanggulangi dengan baik.
3. Informasi: Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari informasi. Saat ini pemerintah masih terus berupaya meningkatkan taraf pendidikan rakyat Indonesia. Sekolah-sekolah Tinggi dan Kejuruan masih didominasi di kota-kota besar/Ibukota profinsi. Dari sisi teknologi informasi, jumlah satuan daya sambung telepon dan penetrasi sambungan Internet masih akan terus berkembang karena pada saat ini masih terkonsentrasi terbesar di Jawa dan wilayah Indonesia Bagian Barat.
4. Kreatif: Tanpa disadari, peradaban Indonesia dan warisan budayanya sangatlah tinggi dan telah berlangsung berabad-abad yang silam. Bukti supremasi peradaban Indonesia bisa dilihat dari warisan produk budaya Indonesia seperti kecanggihan enjiniring pada Borobudur, teknik pembuatan kapal, beladiri tradisional, tari-tarian, alat musik, senjata tradisional, pengobatan tradisional, sandang, dan masih banyak lainnya.

Menurut Florida adalah tidak cukup bila swasta atau pemerintah berfikir dengan hanya membangun kawasan industri yang canggih maka akan segera tercipta suatu lingkungan yang kreatif. Itu tidak cukup. Dibutuhkan kemampuan untuk melihat penciptaan ekonomi dari beberapa sudut, yaitu dari ekonomi itu sendiri, dari sisi teknologi dan dari sisi artistik & kreatif. Disetiap daerah yang memiliki tingkat ekonomi tinggi, terdapat karakter-karakter yang terdiri dari 3 komposisi ini.


Maka dari itu Florida menawarkan konsep 3T yaitu Talenta, Toleransi dan Teknologi.
1. Talenta: Sudah jelas, untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya saing, dibutuhkan sdm yang baik, yaitu Talenta. Orang-orang yang memiliki talenta memiliki penghasilan yang tinggi dari gagasan-gagasan kreatifnya. John Howkins menyebut mereka sebagai orang-orang yang hidup dari penciptaan gagasan dan mengeksploitasinya dengan berbagai cara. Florida mengklasifikasi kelas ini, ada yang bernuansa akademik (universitas), ada yang berorientasi teknologi (tech-pole) ada yang bernuansa artistik (bohemian), pendatang (imigran & warga negara keturunan etnis tertentu) bahkan sampai pada yang bernuansi orientasi sex (gay). Tom Peters bahkan mengatakan dalam seminarnya, dengan gaya yang khas ia mengatakan: bila anda ingin inovatif, gampang saja, bergaulah dengan orang-orang aneh dan anda akan bertambah kreatif. Tapi jika anda bergaul dengan orang-orang yang membosankan, anda akan semakin membosankan juga.
2. Toleransi: Sebelum era ekonomi kreatif ini teridentifikasi, orang beranggapan bila ingin mendapat pekerjaan sebaiknya pindah kesuatu daerah dimana terdapat pengkonsentrasian kawasan-kawasan industri (Aglomerasi). Mungkin itu tetap benar. Namun jaman juga mengalami perubahan. Florida mengatakan bahwa saat ini lapangan pekerjaan akan tercipta di tempat-tempat dimana terdapat konsentrasi yang tinggi dari para pekerja kreatif, bukan kebalikannya. Mengapa, mudah saja, orang-orang yang memiliki talenta tinggi memiliki daya tawar yang tinggi, mereka memiliki banyak alternatif karena permintaan tinggi. Bila mereka ditawari pekerjaan didaerah-daerah yang sepi dan membosankan, mereka cenderung akan menolak, maka yang lebih berkepentingan adalah user dari pekerja kreatif ini dan user akan mengalah, asalkan mereka mendapat SDM yang berkualitas. Bahkan juga dengan adanya internet, pekerja-pekerja bahkan tidak perlu masuk ke kantor, cukup bekerja jarak jauh baik di cafe maupun di rumah-rumahnya.
3. Teknologi: Teknologi sudah menjadi keharusan dan berperan dalam mempercepat, meningkatkan kualitas dan mempermudah kegiatan bisnis dan bersosial. Dewasa ini semakin banyak pekerjaan manusia yang digantikan oleh teknologi membuat manusia sebagai operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Jika pernyataan ini saya balik, maka menjadi demikian: semakin manusia direpotkan oleh aktivitas fisik dan tidak dibantu oleh teknologi, maka sebagian besar waktu manusia akan habis terbuang untuk urusan teknis. Dalam arti lain: teknologi menunjang produktifitas. Dengan demikian, kemudahan mengakses dan membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam pembangunan ekonomi kreatif.

C. Pengembangan Industri Kreatif.
Telah jelas bahwa realitas dan fenomena ekonomi kreatif sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi Indonesia yang telah terbukti memiliki aset kreativitas sejak dulu. Indonesia tidak kekurangan modal kreatifitas hanya kekurangan kemampuan mengintegrasikannya. Untuk itu langkah-langkah yang dibutuhkan adalah: Mengenali apa yang kita miliki (jati diri bangsa dan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia) dan menyusun langkah-langkah konstruktif sebagai berikut:
1. Menyusun Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia yang melibatkan seluruh Stake Holder.
2. Mengajukan usulan kebijakan Ekonomi Kreatif yang konprehensif
3. Menggiatkan inisiatif, baik swasta maupun Pemerintah untuk menciptakan tempat-tempat pengembangan talenta industri kreatif didaerah-daerah
4. Menciptakan produk & jasa yang kreatif dan berbasis budaya berdasarkan prioritasnya, misalnya: Pariwisata, Kerajinan, Gaya Hidup (spa, herbal, kulinari), Furniture, dll
5. Menciptakan pasar berbasis budaya didalam negeri karena selama ini selalu menjadi target pasar dari negara lain
6. Menumbuhkan semangat inovasi dan kreativitas didalam dunia pendidikan agar generasi muda mampu melahirkan gagasan baru berdasarkan apa yang sudah dimiliki sejak dulu
7. Transfer teknologi yang konsisten terhadap industri kreatif berwawasan budaya seperti disebut di atas
8. Meningkatkan pendapatan devisa berbasis kreatif atas sektor-sektor tersebut diatas
9. Promosi Potensi Indonesia, seperti: Alam, Warisan Budaya (herritage), Budaya.
10. Sosialisasi, diseminasi dan promosi secara sistimatis tentang kekuatan Indonesia dibidang Industri kreatif agar diperhitungkan di Peta kompetensi Dunia

D. Pembiayaan Industri Kreatif.
Pada pekan produk Budaya Indonesia Tahun 2007, Presiden Republik Indonesia telah memberi arahan bahwa pada saatnya Indonesia memiliki sebuah cetak biru dan program aksi untuk mewujudkan ekonomi kreatif bangsa yang lebih terarah dalam sasaran dan pengelolaan yang berbasis budaya dan teknologi. Cetak biru pengembangan ekonomi kreatif telah disesuaikan oleh Menteri Perdagangan Mari Ekka Pangestu kepada Presiden pada saat pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI) Tahun 2008 pada tanggal 08 Juni 2008 di Jakarta Convention Center (JCC).
Cetak biru tersebut menjabarkan rencana pengembangan Industri Kreatif di Indonesia hingga pencapaian tahun 2025. Deangan adanya cetak biru ekonomi kreatif ini, diharapkan selalu menjangkau kepentingan yang terlibat dalam bidang industri kreatif memiliki arahan yang jelas untuk mencapai visi ekonomi kreatif Indonesia yaitu “Bangsa Indonesia yang Berkualitas Hidup dan Bercita Kreatif di Mata Dunia” sehingga mendukung terwujudnya Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan lima strategi pembiayaan industri kreatif, yang terbagi dalam dua kelompok program:
1. Tiga strategi pembiayaan melalui dorongan dan fasilitasi terciptanya skema pembiayaan, mengembangkan lembaga pembiayaan di sentra-sentra industri, dan prioritas bantuan pembiayaan kepada pelaku industri yang layak tapi belum bankable.
2. Difokuskan pada penguatan hubungan antara pelaku bisnis, pemerintah dan cendekiawan (triple helix) dengan lembaga keuangan. Strateginya, memfasilitasi interaksi dan memfasilitasi pertemuan antara pelaku industri kreatif dan lembaga pembiayaan.






BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Lingkup Industri Kreatif
Departemen Kebudayaan, Media dan Olah Raga di UK menurunkan 15 subsektor yang dinilai merupakan bagian dari Industri Kreatif di Negara Barat, yaitu sebagai berikut:

a. Penelitian & Pengembangan
b. Penerbitan
c. Perangkat Lunak
d. TV&Radio
e. Desain
f. Musik
g. Film
h. Permainan & Games
i. Jasa Periklanan
j. Arsitektur
k. Seni Pertunjukan
l. Kerajinan
m. Video Games
n. Fesyen
o. Seni Rupa.

2. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan lima strategi pembiayaan industri kreatif, yang terbagi dalam dua kelompok program:
a. Tiga strategi pembiayaan melalui dorongan dan fasilitasi terciptanya skema pembiayaan, mengembangkan lembaga pembiayaan di sentra-sentra industri, dan prioritas bantuan pembiayaan kepada pelaku industri yang layak tapi belum bankable.
b. Difokuskan pada penguatan hubungan antara pelaku bisnis, pemerintah dan cendekiawan (triple helix) dengan lembaga keuangan. Strateginya, memfasilitasi interaksi dan memfasilitasi pertemuan antara pelaku industri kreatif dan lembaga pembiayaan.

B. Saran
Sebagai seorang mahasiswa seharusnya kita mencoba untuk berwirausaha sejak dini. Karena jangan sampai hanya mengandalkan ijazah untuk medapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah nanti tanpa dibekali sedikit pengalaman kerja maka itu akan sulit. Apa lagi pada zaman sekarang tingkat peluang untuk mendapatkan pekerjaan sangat sedikit dibandingkan dari angka pengangguran saat ini. Dan janganlah mau menjadikan kampus sebagai tempat untuk mencetak pengangguran.




DAFTAR PUSTAKA


http://www.slideshare.net/andrietrisaksono/buku-2-rencana-pengembangan-ekonomi-kreatif-indonesia-2009-2015

http://www.mediacenterkopukm.com/detail-berita.php

http://www.pdfqueen.com/pdf/te/teori-pemikiran-kreatif-dan-kritis/2/

http://www.qbheadlines.com/industri_bwh.

http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/teori-evolusi-dunia-pinggirkan-peran.html

http://www.sappk.itb.ac.id/stk/

pengumpulan al-qur'an

PENGUMPULAN AL-QUR”AN

Masa pengumpulan Al-Qur'an dengan menggunakan dua kategori, yaitu: (1) pengumpulan dalam dada, dan (2) dalam dokumen/catatan

Pengumpulan Al-Qur'anul Karim terbagi dalam dua periode:
1. Periode Nabi saw.
2. Periode Khulafaur Rasyidin.
Masing-masing periode tersebut mempunyai beberapa ciri dan keistimewaan.
Istilah pengumpulan kadang-kadang dimaksudkan dengan penghafalan dalam hati, dan kadang-kadang pula dimaksudkan dengan penulisan dan pencatatan dalam lembaran-lembaran.
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Nabi ada dua kategori:
1. Pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan atau pengekspresian,
2. Pengumpulan dalam dokumen atau catatan berupa penulisan pada kitab maupun berupa ukiran.

Kami akan menjelaskan keduanya secara terurai dan mendetail agar nampak bagi kita suatu perhatian yang mendalam terhadap Al-Qur'an dan penulisannya serta pembukuannya. Langkah-langkah semacam ini tidak terjadi pada kitab-kitab samawy lainnya sebagaimana halnya perhatian terhadap Al-Qur'an, sebagai kitab yang maha agung dan mu'jizat Muhammad yang abadi.

Pengumpulan Al-Qur'an dalam dada
Al-Qur'anul Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur'an persis sebagaimana halnya Al-Qur'an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummy pula, Allah berfirman:
                     
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah”. (Al-Jumu'ah: 2)

Biasanya orang-orang yang ummy itu hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya, karena mereka tidak bisa membaca dan menulis. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur'an, mereka berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya cepat serta daya fikirnya begitu terbuka.
Orang-orang Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab keturunannya. Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepada, dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali diantara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut atau tidak hafal Al-Muallaqatul Asyar yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Begitu Al-Qur'an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur'an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur'an. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur'an.

Pegumpulan dalam bentuk tulisan
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur'anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur'an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah 'Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab; Muadz bin Jabal, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan Sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata: "Al-Qur'an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya: "Siapa ayah Zaid?" Ia menjawab: "Salah seorang pamanku".
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, “Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira’atnya lebih baik dari qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran’. Kami berkata, ‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.’ Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.”


Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).

Ulumul Quran_Mantuq dan Mafhum

MANTUQ DAN MAFHUM
PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), sedang Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik Manthuq (makna tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, Mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi Mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan Mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah swt.
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum
PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM
A. Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT
Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2) Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah swt.
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.
B. Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a) Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: “jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua”. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)

Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram)
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah swt.
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
a) Mafhum Shifat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah swt.
”Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
b) Mafhum ’illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c) Mafhum ’adat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah swt.
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
(Q.S. An-Nur ayat 4)
d) Mafhum ghayah, yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalanya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah swt.
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah swt.
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
e) Mafhum had, yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah swt.
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.

SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH
syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, se¬bagai berikut:
Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin¬an”
(Q. S Isra’ ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran
(Q.S Isra’ ayat 33)”
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik
(Q.S Isra’ ayat 23).
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh:
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”
(Q.S An-Nisa’ ayat 23).
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se¬bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid
(Q.S Al-Baqarah ayat 187)”.

Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri

DAFTAR REFERENSI:
http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ulumul-quran/
http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/